Kamis, 05 November 2009

suku aborigin

Aborigin

aboriginMendengar nama itu, saya jadi teringat sebuah senjata kecil berbentuk lengkung yang sangat terkenal: boomerang. Senjata andalan Sokka dalam serial Avatar itu, kemudian menjadi istilah dalam bahasa Indonesia –yang terkesan jelek– “senjata makan tuan”. Entah dari mana istilah itu berkembang, mungkin dilihat dari gerakannya yang unik. Karena saat dilempar menjauh, benda itu bisa kembali lagi kepada tuannya. Terkesan meleset, namun bisa-bisa ia kembali lagi dan mengenai sasaran. Boomerang merupakan senjata suku aborigin yang merupakan penduduk asli Australia. Konon, mereka menetap di benua terkecil itu selama ribuan tahun yang lalu. Tapi kemudian mereka tergeser oleh bangsa pendatang yang lebih “cerdas” berkulit putih dari Eropa.

Secara fisik, suku Aborigin seperti orang-orang Papua: berkulit gelap dan berambut keriting [sekarang sudah mengalami pergesaran, yakin berkulit kecoklat-coklatan dan berambut ikal]. Konon, asal mulanya mereka mempunyai daratan yang sama. Para ilmuwan menyatakan, karena proses alam yang bergerak, daratan besar itu kemudian berpisah. Di sebelah selatan menjadi Australia. Sementara di daratan sebelah utara menjadi pulau Papua yang masuk wilayah Indonesia. Klop dengan nama Australia berasal dari kata “australis” yang dalam bahasa latin berarti “selatan”, sementara orang Belanda menyebut “Australische” yang memiliki makna sama.

Suku berkulit gelap itu kemudian terpisah. Keduanya menjalani nasib sendiri-sendiri di negara yang berbeda. Baik di Indonesia maupun Australia mereka sulit eksis karena keterbelakangan. Rupanya, perbedaan warna kulit yang mencolok di daratan selatan menjadikan suku aborigin kurang berutung. Kaum pendatang di Australia yang berkulit putih mulus memperlakukan peduduk asli itu tidak sewajarnya. Di saat persemakmuran Australia berdiri pada 1 Januari 1701 misalnya, suku aborigin dianggap bagian dari fauna!

Namun pandangan Australia berangsur-angsur melunak dan memberikan ruang bagi penduduk asli tersebut setelah –konon– banyak melakukan pembunuhan. Caranya yang agak unik: Australia menetapkan politik asimilasi untuk mencampur dua jenis manusia yang memiliki warna kulit berbeda itu.

Anak-anak aborigin dipisahkan dari keluarganya secara paksa kemudian di tempatkan di panti asuhan untuk “diputihkan”. Sebagian kemudian diasuh oleh si kulit putih sebagai pekerja atau pembantu. Anak laki-laki dipungut untuk dijadikan pekerja gratis di peternakan terpencil. Mereka dihukum berat ketika berbuat tidak salah atau sesuatu yang tidak menyenangkan. Sama seperti apartheid, rupanya nasib aborigin juga ditentukan oleh warna kulit. Dari sinilah muncul istilah “the stolen generation” yang membuat Perdana Menteri Australia sekarang, Kevin Rudd, meminta maaf.

Di awal 2006, pemerintah Australia pernah melemparkan isu pemusnahan etnik pada penduduk Papua oleh Indonesia. Entah dari mana isu itu berkembang, media setempat mengopinikan secara besar-besaran. Herman Wanggai, pimpian sparatis Papua yang mendapat visa Australia mengatakan, ratusan ribu warga Papua telah dibantai habis. Meski pun berkata seperti itu, Wanggai tidak bisa membuktikan kata-katanya. Terlebih, ketika aktivis HAM menelusuri laporan tersebut juga tidak menemukan pembantaian. Banyak yang menduga, ini politik Australia untuk mendeskreditkan Indonesia di mata internasional. Australia seolah ingin menumpahkan “dosa” pada Indonesia atas perlakuan terhadap suku berkulit gelap itu. Karena tidak terbukti, tuduhan itu seolah menjadi bumerang bagi Australia atas perlakuan pada suku aborigin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar